Sejak ada mesin ceklok baru yang dipasang di kantor pusat beberapa waktu lalu, kini aku tak lagi bingung dan sudah yakin dengan ejaannya. Meski ya, tetap saja, lebih simple dan ramah ditulis dengan simply CEKLOK. Kalau ejaannya nurut yang asli dan benar, nulisnya lama dan space yang dihabiskan jadi banyak. Jadi ya, di sepanjang tulisan ini, selain pada judul, aku akan menulis CEKLOK instead of CHECK-CLOCK yang barangkali, kurang lebih berarti pengecekan jam. Jam berapa datang dan jam berapa pulang. Idealnya sih begitu. Ceklok dua kali sehari. Ya meski belakangan, aku sempat mendengar cerita dari seorang teman yang suaminya berprofesi sama denganku, CPNS satu angkatan denganku (tapi beda kampus), dan dia ceklok empat kali sehari.

Oh, Tuhan, ngapain aja ceklok empat kali sehari? Benarkah sesumbar yang mengatakan bahwa ceklok adalah berhala baru? Nah sesumbar ini aku dapat dari seorang pemateri yang bawain presentasinya boring banget. Saking boring¬-nya, hal yang aku inget dari dia sebatas soal berhala ini. Yang lain ga ada. Padahal ekspektasiku tinggi sekali. Balik lagi ke soal ceklok empat kali sehari. Jadi menurut temanku yang sekamar denganku ketika di Palu itu, sejak beberapa bulan sebelumnya, rute ceklok si suami ada empat: Ceklok pertama adalah ketika datang, ceklok kedua ketika istirahat mulai, ketiga ketika istirahat selesai dan terakhir ketika akan pulang. Benar-benar berhala sekaligus penjara. Eh baru kemarin ada yang mosting di salah satu WAG bahwa kabupaten tetangga sudah menerapkan mekanisme ceklok yang begitu pada karyawannya.

Would that be effective?
Tidak selalu. Sekali lagi ceklok hanya symbol. Ia tak lebih dari mekanisme untuk mendisiplinkan pegawai. Durasi setelah ceklok datang hingga sebelum ceklok pulang idealnya dipakai untuk mengerjakan tugas dan fungsi masing-masing. Baik di kantor maupun di luar kantor. Berdiam di kantor tapi tidak melakukan tugas tentu tidak lebih baik dibanding ngeluyur (atau istilah kerennya dines luar, meski artinya bisa luar kantor atau luar kota) dalam rangka mengerjakan tugas. Jadi ukurannya bukan soal apakah abis ceklok langsung masuk kantor atau malah ngeluyur ke luar ya. Meski ya tetap aja visually, ceklok langsung ngantor itu terlihat lebih ‘lurus’ daripada ceklok langsung ngeluyur. Sekilas lo sekilas, sebab yang catatannya gabisa dikibuli cuma Malaikat Raqib dan Atid, bukan mesin ceklok.

Nah, jadi, soal ceklok empat kali sehari yang frekeuensinya bahkan lebih tinggi dari jadwal minum obat itu, aku melihatnya juga sebagai rangsangan agar pegawai atau karyawan lebih bertanggungjawab terhadap tugasnya. Asumsi yang dibangun adalah bahwa the longer they stay at the ofiice, the better their works would be. Jadi dasarnya aku sangat mengapresiasi aturan tersebut meski tidak bisa membayangkan jika aturan demikian diberlakukan di tempat aku bekerja. Selama ini aku sudah kewalahan—meski merasakan banyak manfaat—ceklok dua kali sehari. Bagaimana jika empat kali dan ada kejadian tidak biasa semisal harus beristirahat di rumah, ada hajatan di luar kampus atau tengka lain yang harus ditunaikan? Jadi ya, sudah, dua kali ceklok itu sudah cukup menjadikanku sebagai pseudo robot.

***
Mesin ceklok baru yang tidak lagi mengucapkan terimakasih saja itu, akan tetapi dengan sudah tersimpan sukses menjadi berhala sedikitnya karena beberapa hal berikut. Pertama, ia kini terintegrasi dengan sistem yang versi full-nya sudah ter-launching bernama SIMPADU. Setiap pegawai memiliki ID dan password dalam sistem SIMPADU yang memungkinkan ybs mengecek jam datang dan jam pulangnya setiap hari. Selama ini aku belum pernah menemukan missedrecording dalam sistem tersebut meski tak mengeceknya tiap hari. Yang kurasakan justru sistem ini membantu bagi mereka yang lupa ceklok datang jam berapa. Awalnya aku kira kelupaan dalam hal ini tidak mungkin terjadi karena aku nyaris selalu mengingat angka yang menyambutku ketika menampakkan wajah seraya bercermin dan testing sedikit senyum setiap pagi itu. Tapi ternyata, belakangan, setelah mengalaminya sendiri, aku bersyukur dengan adanya sistem tersebut karena terselamatkan. Biasanya karena lagi banyak errand list di kepala jadinya potensi gagal fokus jadi besar.


Kedua
, ia juga terintegrasi dengan sistem pembayaran, baik untuk UM alias Uang Makan, Tukin pegawai dan—kabarnya—Tukin Dosen yang isu tentangnya ngalah2i debat pendukung capres nomor 1 dan nomor 2. Meski ini tidak berlaku bagi semua yang melakukan ritual ceklok, aku pribadi merasakan betul financial impact-nya. Kalau tidak salah, hitungan tiap hari kerja, jika ceklok in dan outnya sesuai prosijer, dapatnya Rp.35.150. Tinggal kalikan ada berapa hari kerja dalam sebulan. Siapa yang mau berbaik hati rutin memberi uang segitu setiap hari kerja kalau bukan mesin ceklok? Eh. Selain soal itu, menurutku, perihal ceklok ini juga tak jauh kaitannya dengan soal sanksi sosial. Mereka yang datang pada atau sebelum jam 07.30 dapat segera bubar jalan begitu jam 16.00 (pada hari biasa dan 16.30 pada Hari Jum’at). Hambatannya paling hanya perlu antri sebentar untuk bisa ceklok pulang. Antrian yang tidak panjang tersebut akan dengan segera surut dan berganti pemandangan dengan mereka yang masih mondar-mandir, duduk-duduk (kadang sambil ngobrol dengan manusia lain atau gawai) atau simply spending time sambil menunggu deretan angka tertentu muncul di mesin ceklok sesuai durasi keterlambatan.

Dan percayalah, itu tidak enak. Meski merupakan semacam punishment dari keterlambatan, tetap saja waktu njagong dengan pandangan kosong itu relatif terbuang. Waktu dengan keluarga atau apapun di luar jam kantor jadi berkurang dan pandangan orang-orang yang tak sengaja bertemu, betapapun terlihat indah, tidaklah benar-benar seperti yang terlihat. Masih lebih indah ketika ceklok datang tepat waktu dan berpapasan dengan hilir mudik di kantor pusat yang meski tak ada sinyal-sinyal apapun, terdengar menyiratkan selamat pagi dan *wah, selamat. Kamu datang tepat waktu. Have a good day!* Berbeda sekali dengan pemandangan ketika datang terlambat. Mesin ceklok terasa lebih jauh posisinya daripada letak ia yang biasa. Pandangan mata orang-orang jadi terasa menghakimi padahal mereka sebenere biasa aja dan saat mesin ceklok akhirnya berbunyi, rasa lega pada akhirnya sudah sampai di situ langsung disambut dengan bayangan *nanti nunggu ceklok pulang mau ngapain aja*.


Yang ketiga
, ceklok menjadi berhala karena meski ia terberdayakan oleh sambungan listrik sehingga asumsinya kalau listrik mati, ceklok manual bisa menjadi pilihan, itu tidak berlaku lagi. Ini tentu berita buruk bagiku yang suka kegirangan ketika listrik mati di jam-jam ceklok. Sore itu listrik mati dan you know what, ada genset (diesel) di kampus yang nyala sehingga mesin ceklok juga tetap nyala. Aku ingat sekali ketika itu, aku dan beberapa karyawan senior harus pindah tempat ceklok ke area seputar genset dan melakukan let say transaksi di dekat mesin genset yang gede dan bising banget. Seingatku, aku pernah mengisi ceklok manual tak lebih dari dua kali dan kenangan indah itu sepertinya akan susah terulang.

***

Anyway, namanya aja berhala. Meski punya kekuatan tersendiri yang dapat menggerakkan orang lain, tetap aja mesin ceklok tidak bisa leluasa bergerak seperti kami manusia, para pemakai dan pemujanya. Setelah berbagai cerita soal akal-akalan para pegawai di seantero negeri untuk mengalahkan kesaktian mesin ini, mulai dari mengguyurinya kopi, membawanya pulang ke rumah, memformulasi cara untuk membobol sistem keamaannya, tetap aja ia bisa diakali meski tidak dengan cara-cara sakti juga. Yang paling gampang ya begini. Ceklok pagi sebelum keramaian dimulai, lalu melanglang buana untuk urusan non-kerjaan dan kembali ceklok pulang ketika kantor uda sepi. Atau ya tidak usah ceklok sekalian. Kalau tidak demikian ya, ceklok seperti biasa. Stay di kantor untuk sekian persen kerjaan, sekian persen non-kerjaan. Khan prinsipnya fleksibilitas dan multiperan di berbagai lini. Modus semacam ini tidak bisa langsung distempel begini dan begitu karena barangkali, sistem yang kaku memang perlu sedikit polesan kelenturan di sana sini.

Apapun itu, tidak berlebihan kiranya jika resolusi tahun depan adalah bersahabat lebih intim dengan mesin ceklok dan lebih produktif mengelola waktu produktif! Happy Welcoming 2019!

Image: http://humancapital-management.net

MARI themes

Diberdayakan oleh Blogger.