Awal bulan kemarin Rauhia genap berusia 1.5 tahun menurut hitungan kalender Masehi. Seperti yang banyak diungkapkan orang-orang, rasanya waktu berlalu cepat sekali. Baru kemarin rasanya aku hamil, melahirkan, lalu menjalani hari-hari pertama penuh kejutan dan hal baru. Tiba-tiba, seperti hanya melalui beberapa kedipan mata, bayi yang betah berlama-lama di perutku itu sudah ada di dunia. Bisa berjalan, —belajar—berbicara, bisa protes, bisa merespon ok atau no, juga memiliki cara untuk mutung atau ngambul.

***

Sejak memiliki kewajiban ngantor setiap hari kerja, praktis beberapa hal yang aku bangun dari awal harus mengalami beberapa modifikasi. Ini tentu bukan hal baru dan sudah lama kujalani, tapi tetap saja idealisme-idealisme itu sering datang hingga hari ini dan menuduhku semacam unsuccessful mother . Program MPASI Rauhia nyaris sepenuhnya berhasil ketika aku masih full di rumah. Setiap hari aku mengenalkannya berbagai jenis makanan dan leluasa mengatur nyaris semua-muanya. Porsi, cara masak, bebas garam gula, hingga penyajian. Sekarang, menu harian Rauhia saja aku sering tak tahu. Aku berangkat sebelum ia sarapan dan pulang setelah ia makan malam/sore. Rasanya tak ada yang lebih tidak becus daripada itu.

Hal yang bisa kulakukan sementara, di masa—ya katakanlah—orientasi ini sekadar memastikan bahan makanan—beras merah dan buah—aman dan tersedia. Untuk sayur, prothew dan prona, biasanya Rauhia sudah mengonsumsi menu keluarga. Tidak perlu lagi ada sesi masak khusus untuk santapannya. Sesekali kubelikan ia kudapan, semisal S*ri Roti atau cemilan favoritnya sejak baru berusia 6 bulan, S*N biscuit. Rauhia juga sering minta join ketika melihatku makan, tapi ini tak selalu bisa kukabulkan karena menuku tak bisa lepas dari cabai.

Sejak beberapa bulan yang lalu, Rauhia ditemani Mb Hasnah, tetangga yang juga masih family, ketika aku tak di rumah. Saat akhir pekan Mb Hasnah juga sering datang meski biasanya tidak full sehari. Aku merasa cukup leluasa mengontrol menu makanan dan kudapan Rauhia via Mb Hasnah dan beberapa kali kukatakan, gapapa anaknya nangis dibanding nyantap makanan yang ga sehat. Mengetahui kehati-hatianku, Mb Hasnah sering bertanya apa makanan tertentu boleh dikonsumsi Rauhia atau tidak. Itu sedikit membuatku lega.

Aku bukan tak memertimbangkan mitos atau kepercayaan berantai bahwa semakin anak diatur makanannya—dan dilarang makan sembarangan—, semakin mudah dan sering ia akan jatuh sakit. Hal yang sama kurang lebih juga kutemui dalam diriku sendiri. Dibanding dua adikku yang tidak bermasalah menyantap air mentah, aku adalah yang paling ronyik dan dikit-dikit sakit. Tentu sebelum aku ikutan FC. Cuma tak pikir-pikir, kalau anak dibiarkan jajan apapun hanya demi agar dia tidak nangis dan sama dengan preferensi teman-temannya, rasanya ga bener juga.

Misalnya nih, misalnya, aku yang sudah dewasa saja emoh menyantap sosis goring dengan bubuk cabe atau saus sambal, masa anakku mau dibolehin? Fine lah sekali-kali dia jajan coklat atau snack semacamnya, tapi kalau dibikin sering, bukannya nanti akan ketagihan dan dikit-dikit jajannya itu? Sepertinya jauh lebih baik mengarahkan anak untuk menyukai buah, kudapan basah atau kering yang sehat dan –terlihat—higienis. Dalam hal ini aku punya pegangan prinsip bahwa semakin cepat kadaluarsa/pendek durasi bertahan sebelum basi, semakin baik dan sehat makanan tersebut. Rauhia tak pernah kubatasi menyantap camilan basah, termasuk pentol bakso atau oleh-oleh dari hajatan, tapi agak kufilter untuk kudapan-kudapan kering yang tanggal kadaluarsanya masih lama.

Nyinyiran dan komentar tidak perlu mesti ada, tapi aku tetap keukeuh dan meniatkannya untuk membentuk pola makan Rauhia hingga ia dewasa nanti. Sekali waktu aku melihat Rauhia doyan sekali minum Susu Yak*lt. Entah siapa yang memberinya pertama kali. Dia kelihatan suka dengan rasanya dan dengan cepat menandaskan setengah isi botolnya. Aku buru-buru melihat keterangan di kemasan dan tidak mendapatkan keterangan apakah minuman tersebut aman dikonsumsi anak belum 2 tahun. Jika sudah begini, aku akan bertanya pada Ibu Bidan karena seringkali, mencari informasi di internet bikin pusing dan tambah was-was karena everybody could easily say something about or out of his/her expertise.

Saat akhir pekan dan full di rumah, aku seringkali terkejut mengetahui perkembangan-perkembangan yang terjadi pada Rauhia. Tiba-tiba dia sudah bisa melakukan hal baru, mampu mengatakan kata baru, atau menunjukkan gelagat baru yang belum pernah kulihat di sela-sela berangkat pagi pulang soreku. Dia yang dulu masih disuapi dalam posisi terlentang atau duduk di baby walker sekarang sudah bisa menunjukkan reaksi emoh ketika disuapi makanan yang barangkali secara tampilan kurang menarik. Buah naga yang dulu disukainya sekarang tak banyak menarik seleranya. Dia tetap suka sayur bahkan seringkali emoh makan nasi dan lebih memilih sayur dengan metode Baby Led Weaning ala dia; diacak-acak dan seringkali pakai tangan telanjang. Terkadang dia request ‘kok’, ikan dalam Bahasa Madura, atau baru mau lahap makan jika santapanya ditaburi remahan kerupuk yang dia sebuah ‘puk’. Lain dari itu, sekarang, Rauhia juga sudah pintar menyuapiku, tak hanya bisa disuapi.

Rauhia suka sekali menyantap mie dan aku harus memastikan mie instant tidak masuk di daftar makanan yang ia santap. Emaknya aja ga mau makan mie instant, masa anaknya dikasih. Entah karena rasa atau bentuknya, aku melihat Rauhia begitu antusias memakan mie. Ketika kuajak dia ngebakso, Rauhia sering lebih fokus pada mie dibanding pada baksonya. Kali lain aku mengajaknya menghadiri undangan manten dan, you know what, dia langsung mendekati piring berisi mie dan menyantapnya langsung tanpa makanan lain. Bihun juga demikian. Makanan campor begitu ia sukai karena ada unsure mie di dalamnya.

***

Selain soal pola dan menu makan, banyak perkembangan lain dari Rauhia. Meski masih tak lepas dari popok sekali pakai, ia sudah kubiasakan mandi di kamar mandi dan bukan di outdoor lagi. Ini sebenarnya bermula ketika ia tinggal di kos dan tak menemukan lincak andalan orang Madura ketika memandikan anak kecil. Ia yang ketika itu sudah belajar berdiri mandi sambil berpegangan ke kloset duduk di kamar mandi kosnya. Dari situ ia terbiasa mandi indoor sehingga sepulangnya dari Surabaya, ia tak terkejut lagi ketika kuajak mandi di kamar mandi. Rauhia juga sering kuajak ke kamar mandi ketika akan BAK dan wudhu’. Setelah menaruhnya di tempat aman—tidak licin dan bebas dari najis—aku melaksanakan hajatku dan memberitahunya apa yang baru saja kulakukan.

Ketika BAB, Rauhia juga sudah belajar member kode selain aromanya yang seringkali tercium. Ia biasanya akan tengkurep lalu mengangkat bokong untuk mengejan. Jika tidak demikian, ia akan jongkok dan terlihat berusaha mengeluarkan sesuatu dari tubuhnya. Jika sudah demikian, sering kutanyakan apakah dia ngeng*k atau e*k. Terkadang jawabannya sesuai dengan isi popoknya, terkadang juga tidak. Seringkali juga, aku menanyai demikian karena mencium bau tak sedap yang ternyata adalah kentut. Satu hal yang istiqamah dia lakukan adalah memeluk betisku saat aku mencebokinya seperti mencari pegangan dan berlindung dari guyuran air.

Mengamati perkembangan Rauhia belakangan juga membuatku percaya bahwa anak adalah imitator terbaik dari orang tuanya. Sering melihat orang lain di rumahnya shalat, Rauhia mulai ikut-ikutan salat. Posisi favoritnya adalah sujud meski dengan bentuk tak beraturan. Ia juga suka berdiri lalu langsung sujud tanpa melewati ruku’. Sekali waktu ia juga menirukan ujaran amin ketika ada orang berdoa. Karena kebiasaan ini dan suatu kejadian saat dia berebut mukena milik sepupunya, aku belikan ia mukena. Kadang ia mengenakannya ketika ikut-ikutan jama’ah atau di waktu-waktu lain saat ia ingin. Sebalum mukena itu datang, Rauhia terlebih dahulu mendapat lungsuran mukene parasit dari sepupunya yang lain.

Ketika melihat aku mengerok bapaknya, ia sering memerhatikan lalu menyambar koin dari tanganku dan langsung menirukan apa yang baru saja aku lakukan. Ini terjadi beberapa kali sehingga meski tak sedang mendapati pemandangan serupa, ketika tanpa sengaja menemukan koin, dia lalu beraksi. Sama seperti saat melihat mbah putrinya nginjakin mbah kakungnya, Rauhia spontan meniru aksi tersebut meski ia tergopoh-gopoh memastikan badannya stabil dan tidak jatuh. Ia juga ingin duduk di kursi makan ketika yang lain makan, ingin mengulek bumbu masak di cobek hingga menyapu lantai dengan sapu yang panjangnya melebihi tinggi badannya.

Lain dari itu, Rauhia mulai mengenal hal-hal yang identik dengan orang-orang di sampingnya, termasuk barang apa milik siapa. Suatu ketika, ia menemukan kemasan rokok milik bapaknya bergeletakan. Ia lalu membukanya dan mengambil satu batang. Ia mencari sang bapak dan mendapati sang bapak tengah tidur lelap. Rauhia mendekatinya dan memasukkan sebatang rokok itu di sela-sela mulut si bapak. Memorinya begitu merekam bahwa barang itu sangat identik dengan bapaknya, bukan dengan yang lain. Hal yang sama terjadi ketika ia menggeledeh tas yang biasa aku bawa ke kantor. Mendapati kotak pensil, dia akan mengeluarkan isinya dan menuliskan spidol atau pulpen ke manapun objek yang ia temui, termasuk betis dan lengannya sendiri. Jika yang ia ambil adalah kota make-up minimalis, maka ia akan memasang gincu di mulutnya dan mengibas-ngias kuas blush-on ke pipi hingga dahinya. Ketika merasa bosan di rumah dan ingin mengajak jalan-jalan, terlebih dahulu ia mengambil jilbabku lalu menyuruhku mengenakannya sebelum mengode untuk menggendongnya lalu keluar rumah.

Gerak-gerik Rauhia, karena itu, memerlukan pengawasan penuh seiring dengan banyaknya keterampilan baru yang ia miliki. Jika dulu ia masih membutuhkan bantuan orang untuk membuka kotak pensil, membuka kemasan baby oil atau parfumnya dengan kode kak yang berarti perintah untuk membuka, saat ini ia bisa melakukannya sendiri. Termasuk keterampilan membuka gincu dan memutar bagian silindernya hingga ujung merahnya muncul. Keterampilan ini menyebabkan gincu ibunya yang baru saja dibeli harus patah. Rauhia juga bukan tipikal anak yang takut ketinggian seperti ibunya. Ketika sekian menit saja ia luput dari pandangan, ia sudah berhasil naik ke meja rias ibunya dan mencari adakah sesuatu yang menarik untuk ia comot di situ.

Rauhia juga sudah mulai bisa notice wajah orang-orang di sekitarnya. Ketika melihat poto ibunya, ia akan dengan sontak berkomentar mama. Begitu juga dengan wajah anggota keluarga lain. Ketika ditanya siapa orang yang ada di depannya, spontan ia akan menyebut bagaimana dia memanggil yang bersangkutan. Omo, tati, kakung, tatek, umik, con dan keke. Ketika ditanya soal dirinya sendiri, ia sering tersipu malu dan bergumam hia, ia dan yang semacamnya.

***

Banyak bottom line dan kebiasaan dan karakter Rauhia yang sejauh ini tampak. Jika tidurnya pulas, ia akan bangun dengan bahagia tanpa tangisan atau rengekan. Beberapa kali aku mendapatinya bangun lalu langsung bangkit dan mencari di mana ibu atau anggota keluarga lainnya berada. Jika tidurnya tidak pulas atau kurang lama, ia biasanya akan bangun dengan rengekan hingga tangisan. Setelah itu, diperlukan beberapa waktu untuk menytabilkan emosinya dan dia akan kembali riang seperti biasa. Rauhia tetap menyukai udara dingin dan akan tidur nyenyak lebih lama ketika cuaca dingin atau saat pulang ke Pananggungan. Ia juga masih sering terjaga di malam hari ketika udara panas dan merasa gatal di sekujur tubuhnya. Belakangan ini mulai teratasi dengan agenda ganti sabun mandi dan krim anti gatal yang biasanya digunakan ketika gatal datang dan ia, dengan mata terpejam, refleks menggaruk-garuk menunjukkan betapa ia terganggu.

Kali terakhir membawa Rauhia menaiki angkutan umum, terjadi perubahan cukup drastis di mana yang bersangkutan tidak mau diam di tempat seperti biasa. Ia juga tidak tidur di pelukan dan bisa diam dengan iming-iming nenen. Rauhia berusaha berjalan dan menyapa teman sebayanya di jok belakang sambil menepuk-nepukkan tangannya pada kaca mobil. Aku cukup kelabakan dengan perubahan ini karena Rauhia tampak mulai belajar menikmati perjalanan dan tidak mau diam saja seperti sebelum-sebelumnya. Satu hal lagi yang kupahami dari Rauhia, ia cenderung ramah dan seperti ngajak main pada anak yang tampak lebih tua darinya dan bisa jadi berbahaya bagi anak yang lebih muda. Mengapa bisa begitu, aku belum faham.

Saat terakhir kubawa ke kampus, Rauhia kurang kuperatif. Mungkin ia bosan dan tak menemukan teman sebaya atau mainan di sekelilingnya. Orang-orang yang ia lihat juga baru dan suasana tak begitu akrab dengan lingkungannya setiap hari. Ia sempat tidur di pelukan tapi ketika hendak kulantaikan, dia bangun. Berkali-kali seperti itu. Sepertinya ia tak suka kebisingan selain yang sudah akrab di telinganya. Ketika om-omnya sedang latihan musik dengan suara kencang, ia bisa tetap lelap tidur karena barangkali sudah terbiasa dengan dentumannya. Ketika aku bergeser sedikit ke rumah Mb Af, Rauhia berubah mood meski ia tetap mencari ibunya begitu si ibu menghilang sedikit dari pandangan. Ia sibuk bermain dan malah tampak keenakan seperti di rumah sendiri. Rauhia yang mulai mengenal asyiknya bermain sering mengajakku bermain meski sebatas cilukba atau mengangkat tangannya tinggi-tinggi hingga bayangan tampak di tembok.

Fase-fase ini juga menandai beberapa kosa kata baru yang dimiliki Rauhia, meski ia tidak sepenuhnya fasih melafalkannya. Sebagian Bahasa Madura, Jawa, Indonesia, sebagian kecil lagi Inggris. Di luar itu, Rauhia suka meniru kata-kata yang baru diucapkan orang di sekitarnya, meski yang keikut seringnya hanya di bagian buntut. Aku suka memerhatikan ekspresinya ketika bahagia, gemes, marah, sebel, cape, ngantuk tapi masih ingin bermain, serta saat ia terbangun ketika orang-orang di sekitarnya (pura-pura) tidur. Aku belajar banyak hal dari anakku soal betapa attached-nya perilaku orang tua dan orang sekitar terhadap dirinya. Kecenderungan Rauhia yang lebih menyukai barang milik orang lain, termasuk botol Tu*py gedeku dibanding botok Pige*n mini miliknya, seringkali meyakinkanku perihal kencenderungan manusia untuk sawang-sinawang. Sikapnya yang tenang ketika ada yang mem-body shaming dirinya juga membuatku yang geram kembali terkontrol. Barangkali dia belum mengerti, tapi auranya yang tenang seperti tak ada apa-apa seringkali mengkodeku agar please be calm, Mama. Everythings ok.

Rauhia juga lebih suka membolak-balik buku lain dibanding miliknya yang kubeli khusus dalam rangka agenda mendongengi. Alih-alih terlaksana, Rauhia justru lebih fokus pada gambarnya dan tidak pada kata-kata yang aku baca. Tak hanya fokus mengamati, ia seringkali mencorat-coret hingga menyobek kertas di buku itu kemudian meremasnya tak beraturan. Soal ini aku bertekad untuk tak menyerah dan menjadikan anakkku kutu buku yang sukses, tak seperti aku yang gagal. Aku tahu betapa menderitanya menjadi akademisi yang jauh dari buku dan semoga Rauhia tidak menjadi generasi itu. Be all you can, Sayang, tapi stay closed with the books.

***

Last but not least, tentang ASI. Selain ketika test CAT untuk CPNS pada 2017 lalu, beberapa bulan yang lalu aku pernah meninggalkan Rauhia dua kali. Ke Palu dan ke Surabaya. Dua moment itu sama-sama tak memungkinkan aku membawa Rauhia karena berbagai alasan teknis. Aku di Palu 5 harian dan di Surabaya 3 harian. Selama itu Rauhia tidak mengonsumsi ASI, termasuk ASIP yang sudah aku siapkan. Kali pertama aku tinggal ke Palu, drama cukup dramatis terjadi karena ia tak biasa tidur tanpa skin to skin denganku. Alhamdulillah hari kedua teratasi dengan mengamati pattern-nya sehingga ketika ke Surabaya, dramanya tak sedramatis saat aku di Palu. Aku ke Palu September dan ke Surabaya Oktober.

Selama LDR itu, aku bertekad meneruskan program hawlayn kamilayn dengan amunisi berupa pumping tool. Meski berkali-kali harus ijin demi kepentingan biologis, semua terkendali. Aku kembali menyusui Rauhia sepulangnya bepergian meski bukan tak banyak yang menyarankan untuk disapih saja agar drama tidak perlu berulang. Aku menepis saran itu meski aku tak ada pengalaman sama sekali tentang menyapih dan sebetulnya sedikit kuatir soal drama apa yang akan terjadi dengan babak itu. Aku berpikir bahwa Rauhia berhak atas dua tahun emas itu dan aku berkewajiban memenuhinya betapapun dengan segala keterbatasanku. Tanpa bermaksud yang tidak-tidak, aku merasa kemampuan menyusui adalah hal istimewa yang tidak bisa begitu saja aku sia-siakan, apalagi karena urusan teknis dan kekhawatiran akan hal yang belum terjadi di depan. Dalam hal ini sepertinya aku perlu memakai stubborn character-ku.

What’s wrong dengan cita-citaku memberi ASI dua tahun bagi Rauhia? Membandingkan Rauhia dengan bayi lain yang bisa skin to skin dengan ibunya selama 24 jam penuh saja aku iri bukan main, kenapa kesempatan ini justru aku sia-siakan? Akupun yakin Rauhia memahami bahwa persoalan skin to skin bukan semata ketika dia ingin minum sesuatu dari tubuhku, tapi juga ekspresi kerinduan, ketenangan dan kedamaian setelah seharian penuh kami berpisah. Soal ini, Rauhia juga mengalami perkembangan baru yang nyaris membuatku kapok untuk membawanya ke venue-venue di ruang terbuka tanpa ada sekat antara lelaki dan perempuan sementara ruang laktasi di tempat-tempat umum masih jauh di dunia andai-andai dan kapan-kapan.

ASI jugalah yang membuatku masih istimewa dan spesial bagi Rauhia, sebab hal-hal lain sudah bisa ia lakukan dengan orang lain. Ia bisa mandi tidak denganku, bisa berpakaian tidak denganku, bisa bermain, makan, jalan-jalan, tidur dan menghabiskan waktu tidak denganku. Tapi untuk urusan ASI, ia hanya bisa mendapatkannya dariku. Pikiran ini kadang membawaku seperti terbang ke awan dan rasanya tidak ingin waktu cepat-cepat berlalu agar agenda menyapih Rauhia itu masih lama. Dan aku tetap bisa menikmati hak istimewa itu.

Aku bukan tak khawatir perihal nutrisi Rauhia mengingat aku hanya bisa mengASIhinya tak lebih dari 15-an jam sehari pada hari kerja. Ia tak mau ASIP dan aku masih ingin menghindarkannya dari sufor untuk mengantisipasi ketidaksukaannya pada ASI jika ada nutrisi lain yang sejenis. Aku juga tak bisa seleluasa dulu mengontrol menu dan pola makannya. Menyerahkannya pada keadaan bermodal doa aku rasa juga tak cukup. Aku harus terus melakukan sebisa yang aku mampu di tengah keterbatasanku untuk menjamin semuanya on track tanpa kurang suatu hal apapun.

***

Di luar beberapa perubahan itu, Rauhia, Kau tetap bayi kecilku yang mungil berambut tebal dan berpipi bakpao. Sama seperti sebelumnya, masalah medismu dominan di kulit, sedang keluhan-keluhan kecil bisa teratasi dengan air degan. Pilek dan batuk sering tak kunjung pergi tapi itu relatif tak mengganggu keceriaanmu bermain dan mengenal hal-hal baru. Tanpa kata-kata, kau suka minta dipijat, digendong hingga dibawa jalan-jalan cuci mata. Kini, seringkali kau tampil dengan kuncir di kanan kiri meyakinkanku bahwa youve grown up very well! I love you, Nak. Maafkan mama tak bisa 24 jam sehari menemanimu bermain seperti saat jantungmu masih berdenyut di perutku.

By Masyithah Mardhatillah

Kehamilan adalah fase alamiah yang menyempurnakan status seorang perempuan. Terlahir sebagai putri lalu menjadi istri, predikat seorang ibu menjadi gerbang paripurna dari siklus kehidupannya. Gelar tersebut bahkan sudah ia sandang sebelum tangis pertama sang bayi pecah. Bagaimana tidak, yang ditanggung dan dipanggulnya tak hanya nyawa, akan tetapi juga jiwa. Keduanyapun terhubung secara biologis, psikologis juga spiritual-esoteris.

Itulah mengapa, pembentukan karakter dan kecenderungan seorang anak terjadi sejak dirinya masih meringkuk di rahim hangat ibu. Sesekali, meski tak sering, jabang bayi ikut menyicipi makanan yang dikonsumsi ibunya. Ini tentu tak hanya soal asupan yang ia dan ibunya butuhkan, akan tetapi juga soal selera. Apa yang biasa dimakan ibu selama kehamilan cenderung akan menjadi makanan kesukaannya.

Sebagian besar ibu hamil mengalami apa yang disebut ngidam. Ngidam identik dengan keinginan mengonsumsi makanan, minuman atau kudapan yang tiba-tiba diidamkan, seringkali tanpa alasan jelas atau di waktu-waktu tak terduga dan dipercaya berasal dari request jabang bayi. Skalanya pun beragam. Ada yang ngebet harus kesampaian, sekadar keinginan yang numpang lewat hingga yang tak pernah sekalipun mengalami. Gejala ini, tentu saja, tak bisa diremehkan sebab ia juga berpotensi ikut andil membentuk pola makan hingga perilaku bahkan karakter bayi di kemudian hari.

Jika seluruh hasrat ngidam dituruti hingga dalam skala yang tidak wajar, misalnya, bukan tak mungkin pola demikian akan ‘nurun’ pada bayi. Ini tentu berbeda dengan ibu hamil yang dapat mengontrol keinginan konsumsinya tak hanya karena pertimbangan gizi, higienitas atau kandungan makanan, akan tetapi juga sebagai ikhtiar memberi uswatun hasanah bagi bayinya. Pendidikan kultural soal pola makan ini, dengan demikian, nyaris dinahkodai tunggal oleh sang ibu. Tak salah jika ibu disebut sebagai sekolah pertama bagi anak-anaknya.

Selain menjadi sekolah, dalam waktu yang sama ibu senyatanya tengah bersekolah. Sejak kehamilan, persalinan, menyusui hingga proses-proses setelahnya, secara naluriah ia akan menggali sebanyak mungkin informasi untuk memastikan seluruh proses berjalan lancar. Salah satu yang tak boleh luput dari penelusurannya adalah perihal 1000 hari pertama bayi, yakni sejak kehamilan hingga usia dua tahun. Selain soal pembentukan karakter termasuk pola makan, golden period tersebut menjadi penting karena secara ilmiah terbukti sebagai periode yang begitu menentukan kesehatan bahkan masa depan anak, khususnya terkait dengan
ancaman stunting.

Stunting kurang lebih adalah gejala gagal tumbuh yang menyebabkan tumbuh kembang fisik, emosi bahkan intelektual penderitanya tidak maksimal. Ia adalah penyakit jangka panjang sebab efeknya akan terasa hingga dewasa. Uniknya, penyakit ini hanya bisa dicegah namun tak bisa disembuhkan jika terlanjur menyerang. Nah, pencegahan terhadap stunting bisa dimaksimalkan dalam periode 1000 hari tersebut sehingga para orang tua tidak bisa mengentengkan hal ini. Apalagi pada 2017, Indonesia menempati urutan ke-5 dunia sebagai Negara dengan penderita stunting terbanyak.


***

Lain kehamilan, lain pula fase setelah melahirkan. Selama hamil, ibu memiliki otoritas penuh atas apa yang dikonsumsinya, termasuk variasi dan kombinasi menu, higienitas, frekuensi maupun teknik konsumsi. Ia bisa dengan mudah mengajarkan pola makan yang baik melalui perilakunya sendiri. Namun demikian, pasca persalinan, keadaan mulai berbeda. Cita-cita melakukan IMD dan memberi ASI eksklusif selama 6 bulan bisa jadi tak senada dengan keyakinan keluarga atau mitos yang terlanjur mengakar.

Tak jarang, ada ‘tangan-tangan perhatian’ yang justru memberi minum air gula untuk mencegah bayi dari penyakit kuning, mencekoki pisang, susu formula kental bahkan bubur agar ia tidur nyenyak, hingga menyuapi kurma, madu dan air zam-zam untuk mengikuti sunnah Nabi. Di sini, ibu harus ngotot dan asertif meyakinkan semua anggota keluarga untuk menyukseskan IMD dan program ASI eksklusif. Ia juga harus membiasakan diri dengan manajemen ASI perah ketika cuti melahirkan sudah berakhir.

Pada masa ini pula, dampak makanan yang dikonsumsi ibu akan lebih terasa pada bayi. Ada kalanya, ibu harus mengonsumsi makanan yang tak disukainya, semisal jamu pahit, yang tengah dibutuhkan bayi. Begitu juga, ibu terkadang harus menjauhi makanan kesukaannya karena memicu alergi pada bayi kecil yang hanya mendapat asupan dari air susunya. Ini tentu tak mudah dan membutuhkan kerja sama serta pengorbanan yang meski terlihat spele, tidak bisa begitu saja dianggap remeh.

Selanjutnya, fase MPASI menghadirkan tugas lain yang tak kalah menantang. Ibu kali ini harus pandai-pandai menyeleksi dan mengenalkan berbagai macam makanan sesuai ‘madzhab’ MPASI yang dipilihnya. Buah, karbohidrat, protein hewani maupun nabati, serta sayur adalah menu utama yang idealnya diperkenalkan sehingga lidah anak akan terbiasa dengan aroma maupun rasanya. Tak hanya itu, varian menu dan teknik penyajian juga harus diatur sedemikian rupa untuk menjaga mood dan selera makan anak sehingga pola makannya tetap terjaga.

Tantangan terberat pada masa ini adalah menghindarkan makanan dan minuman instant yang bisa jadi sangat menarik perhatian bayi. Bayi juga sudah mulai belajar berkomunikasi sehingga ketika teman sebayanya mengonsumsi makanan yang dilarang untuknya, ia akan complain. Beberapa orang tua juga memiliki aturan cukup strict dengan menjauhkan makanan bergula-garam sebelum bayi berumur setahun. Lagi-lagi, ini membutuhkan kerjasama banyak pihak dan persoalan teknis yang tidak sederhana karena makanan untuk si kecil harus dimasak secara eksklusif.

Fase ini akan terus berjalan hingga proses penyapihan pada usia 2 tahun. Semakin banyak gigi yang tumbuh, semakin beragam pula makanan yang bisa dicerna bayi. Seiring dengan itu, orang tua semakin dituntut untuk aktif mengontrol pola makan bayi. Fondasi yang dibangun susah payah pada bulan-bulan pertama MPASI, utamanya perihal kombinasi menu yang sehat, lengkap dan variatif, harus tetap dipertahankan agar kebiasaan dan pola makan tersebut tetap terjaga. Hasilnya, kesehatan bayi dapat terjaga dan hal-hal tak diinginkan semacam stunting bisa dicegah dan dihindari.

***

Demikianlah, 1000 hari pertama merupakan kurikulum pembelajaran dengan skala tantangan dan kesulitan yang berbeda di tiap tahapannya. Orang tua dan keluarga tetap berperan sebagai aktor utama yang mengarahkan bahkan membentuk pola hidup si bayi, termasuk pola makannya. Seperti salah satu nama lainnya, windows of opportunities, periode ini adalah kesempatan untuk menentukan masa depan bayi tidak hanya dalam hal-hal yang sifatnya fisik, akan tetapi juga kebiasaan, karakter hingga cara pandangnya, termasuk terhadap pola makan. Karenanya, jika diarahkan dengan baik, aktivitas dan pola menyantap makanan akan ia lihat tidak hanya sebagai rutinitas fisik, akan tetapi juga investasi jangka panjang untuk kesehatan, tercapainya target dan cita-cita hidup serta komitmen pada diri sendiri dan orang-orang terkasih.

MARI themes

Diberdayakan oleh Blogger.