Manusia adalah homo nomades karena selama hidupnya, ia pasti mengalami berbagai perpindahan. Minimal dan yang pasti, ia berpindah dari perut ibunya ke dunia. Dari situ, ia memulai perjalanan dari satu kamar ke kamar lain, satu rumah ke rumah lain, satu kota ke kota lain, dan seterusnya hingga saat waktu tiba, ia berpindah tempat ke kamar kecil di bawah permukaan tanah. Kamar kecil itu bukanlah pelabuhan akhir karena ia sebenarnya lebih merupakan semacam tempat transit untuk destinasi lain yang sama sekali berbeda dari tempat-tempat yang pernah disinggahi.

Dalam momen-momen perpindahan itu, ada beberapa hal yang hampir selalu ada dan dialami semua yang melaluinya, meski skala dan bentuknya berbeda. Hal-hal tersebut di antaranya adalah euforia dan atau perasaan asing, kejanggalan akan hal-hal yang terasa sangat baru serta terhentinya rutinitas di tempat lama. Selain itu umumnya, pada hari-hari pertama di tempat baru, siapapun harus belajar menyesuaikan diri, mengenal lingkungan sekitar dan kulo nuwun pada siapapun yang terlebih dahulu tinggal di tempat tersebut.

***

Kepindahan yang baru saja saya alami mau tak mau mengingatkan kembali pada berbagai momen serupa yang pernah saya lewati sebelumnya. Masing-masing menyisakan cerita dan kenangan tersendiri, termasuk hikmah yang juga berbeda. Namun, seperti biasanya setiap perbedaan, ada beberapa persamaan yang menyatukan item-item tersebut. Di bawah ini ada beberapa hal yang, kalau boleh saya sebut, merupakan serba-serbi seorang newbie. Selain sebagai dokumentasi pribadi, anggaplah saya sedang melakukan apa yang populer dengan istilah sharing is caring.

Pertama, newbie selayaknya membawakan diri sesupel mungkin. Berpura-pura supel bukanlah yang saya maksud dalam point ini sebab berpura-pura identik dengan modus negatif. Di hari-hari pertamanya di tempat baru, seorang newbie tak bisa seenaknya melenggang seperti di tempat yang sudah ia kenal. Ia harus banyak berkomunikasi dengan orang lain dan bagi wajah yang belum familiar terlihat di lingkungan baru, kesupelan adalah kuncinya.

Bayangkan saja jika di kampung, komplek perumahan atau tempat kerja kita ada new comer yang enggan bertegur sapa dengan penghuni lama, pelit senyum atau terlihat sangat formal. Alih-alih mendapat simpati, tipe yang demikian justru cenderung akan dijauhi dan tidak disukai. Sebaliknya, mereka yang ramah, sopan, murah senyum dan komunikatif relatif lebih cepat mendapat kenalan, teman hingga informasi baru.

Kedua
, menjadi newbie berarti kesediaan untuk heran hingga terkejut dengan hal-hal baru yang mungkin tak terpikirkan. Keheranan dan atau keterkejutan semacam ini adalah hal yang sangat lumrah terjadi betapapun sebelum turun lapangan, berbagai bekal informasi sudah disiapkan. Ada saja yang berbeda dari tempat lama atau common mindset, entah itu kebiasaan, bahasa, peraturan tak tertulis, kode-kode dan lain sebagainya.

Karena sifatnya yang nyaris tak bisa dihindari, para newbie harus cerdas ketika gejala ini datang. Among other options, menampakkan keheranan atau keterkejutan secara verbal maupun nonverbal sangatlah tidak disarankan. Selain akan mengundang perhatian dan kesan kurang baik, jurus ini juga cenderung membuat si newbie berpikir pendek dan judgmental. Padahal jika mau berpikir lebih terbuka, setiap hal yang mengejutkan serta mengherankan juga punya penjelasan. Kalaupun tidak semua hal dapat dibenarkan dan diterima, minimal, ia bisa dimengerti terlebih dahulu.

Ketiga, newbie secara alamiah memiliki berbagai macam pertanyaan. Ini wajar karena di tempat baru, baik tempat yang sama sekali baru atau karena menjadi objek perbandingan dengan tempat lama atau tempat lain, ekspektasi ataupun gambaran perihal tempat anyar tersebut terlanjur memenuhi kepala si newbie. Karena itulah, saat down to the field dan mendapatkan beberapa hal ‘baru’, pertanyaan-pertanyaan semacam itu tak bisa terbendung, tak peduli si newbie adalah tipe cuek ataupun yang memang dari sono-nya kritis.

Akan tetapi, hanya sebagian kecil di antara pertanyaan tersebut yang pantas diajukan. Kalau ada yang bilang bahwa there is no stupid question, maka kaidah tersebut tidak selalu berlaku bagi seorang newbie. Jika semua pertanyaan yang muncul diajukan pada sembarang orang, apalagi lewat kanal jarkom grup media sosial, itu hampir berarti bahwa yang bersangkutan sudah memasrahkan diri menjadi bullying object atau bulliable person. Karenanya, think today and ask the question tomorrow. Amannya, jika pertanyaan sudah lulus sensor namun belum menemukan tempat bertanya yang tepat, simpan dahulu. Seiring waktu, pertanyaan semacam ini biasanya terjawab lewat momen yang tak diduga.

Keempat, memiliki teman sesama newbie adalah kebahagiaan tak terkira. Menjadi newbie seorang diri, meskipun cukup menantang karena benar-benar menguji daya tahan, adalah mimpi buruk yang sedapat mungkin dihindari. Sebab, bertemu dengan mereka yang ‘senasib’ adalah hal yang teramat menyenangkan meski ini juga berarti semakin banyak hal yang memerlukan naturalisasi atau penyesuaian. Perasaan senasib sepenanggungan biasanya merupakan faktor perekat ikatan komunitas yang cukup kuat menyatukan individu-individu dengan beragam karakter.

Selain bisa menjadi tempat berbagi informasi, curhat, bikin grup di media sosial, ngurus apa-apa bareng, jalan atau main bareng, kehadiran teman semacam ini bisa cukup berpengaruh meningkatkan skala ‘kebetahan’ di tempat baru. Si newbie cenderung akan berpikir bahwa dirinya tak sendiri. Selain itu, komunikasi dengan teman ‘seangkatan’ seperti ini relatif lebih dekat, cair, open dan jauh dari kesan sungkan atau enggan.

Kelima, informasi-informasi pertama yang diterima newbie cenderung akan begitu membekas dibanding yang datang belakangan. Ini tentu terlepas dari apakah informasi tersebut bisa dipertanggungjawabkan atau tidak. Umumnya, valid tidaknya informasi perihal apapun di sebuah tempat baru akan terjawab seiring waktu, selain karena beberapa hal bisa sangat relatif di kepala banyak orang. Herannya, meski belakangan terbukti bahwa informasi yang diterima tidak atau kurang valid, konten informasi tersebut biasanya sulit hilang dari ingatan.

Seperti halnya dalam momen-momen lain, seorang newbie tidak bisa sepenuhnya memilih akan bertemu siapa, berkomunikasi dengan siapa, dan mendapat informasi apa saja di hari-hari pertamanya. Karena itu, ia sebaiknya tak terlalu reaktif terhadap apapun informasi yang diterima sebab selain soal validitas, ia belum banyak mengenal karakter si pemberi informasi, termasuk motifnya. Tanpa sama sekali bermaksud menggeneralisir, kultur perpeloncoan formal hingga non-formal bagi pendatang baru agaknya belum banyak hilang dari berbagai lapisan masyarakat kita. Karenanya, seorang newbie benar-benar dituntut untuk tak hanya sopan dan ramah, akan tetapi juga peka.

Keenam
, peraturan tak tertulis di tempat baru adalah hal yang wajib diketahui newbie. Karena tidak semua peraturan dan kebiasaan kultural termaktub dalam tulisan dan tak pula menghadirkan interpretasi tunggal, maka seorang newbie harus terampil membaca keadaan dan memahami hal-hal kultural tak tertulis tersebut. Cara termudahnya adalah bertanya dan mencari informasi pada orang yang dipercaya meski mendapatkan orang dengan kategori ini bukanlah perkara mudah. Kalau tidak, maka caranya adalah mereka-reka sendiri dengan terlebih dahulu memahami pola dan membuat asumsi hingga hipotesis.

Mengetahui peraturan kultural menjadi penting karena meskipun perilaku aneh dari seorang newbie biasanya dimaklumi, hal demikian seringkali menuntun pada hal lain yang kurang menguntungkan. Ketika seorang newbie ketahuan belum begitu menguasai medan barunya, orang yang tidak bertanggungjawab cenderung akan menjadikan celah tersebut sebagai pintu awal melakukan tindak bullying mulai dari yang sifatnya sangat ringan hingga eksploitasi yang serius.

Ketujuh, cultural shock pada hari-hari pertama sering membuat salah fokus. Karena kepindahan tak melulu merupakan hal yang menyenangkan dan atau diharapkan, maka hari-hari pertama di tempat baru tak jarang membuat si newbie gets lost. Mereka yang berpindah ke tempat yang selama ini didambakan saja bukan tak mungkin lupa bersyukur karena dilelahkan dengan urusan penyesuaian yang seakan tak kunjung selesai. Tentu saja, tensi yang lebih tinggi dialami mereka yang tak menyana akan mengalami kepindahan di luar waktu dan keadaan yang diperkirakan.

Tak hanya itu, kerinduan akan tempat (dan kebiasaan) lama atau ekspekstasi yang dilempar terlalu tinggi adalah godaan lain yang biasa muncul di hari-hari pertama kepindahan. Gangguan-gangguan kecil semacam ini bukan tak mungkin menjadi hal yang serius jika si newbie kurang tahan banting dan terlalu berharap pada keadaan. Karenanya, hari-hari pertama yang konon akan dirindukan di kemudian hari ini sebaiknya tidak diruskan oleh hal-hal seperti tersebut di atas.

Kedelapan, seorang newbie tidak disarankan terlalu jaim atau membawakan diri bukan apa adanya. Meski semua orang mengetahui bahwa pandangan pertama suka palsu, tak banyak yang benar-benar bisa tak terbuai dengan kesan-kesan pada pertemuan pertama. Karena itu, menjadi wajar jika seorang newbie memiliki naluri untuk menampilkan dirinya seperfek mungkin di lingkungan baru. Dalam skala tertentu, ini masih bisa dimengerti sebab bukan tak mungkin ia menjadi sugesti pribadi untuk meningkarkan kualitas diri.

Namun demikian jika dilakukan berlebihan, ini tentu akan menjadi bumerang bagi si newbie sendiri sebab seiring waktu, sisi asli dirinya akan tampak dan si newbie akan kewalahan mengatasi keadaan karena tidak tahan terlalu lama berpura-pura. Jadi, menjadi diri sendiri dalam keadaan apapun memang bukan hanya menyenangkan, akan tetapi juga aman untuk ‘keperluan jangka panjang’. Meski tentunya, peningkatan-peningkatan kualitas diri step by step adala hal yang tak bisa dihilangkan dari naluri normal seorang manusia.

***

P.S: Setidaknya, tulisan ini menjadi penting karena sebagian besar perpindahan yang kita alami dalam hidup terjadi begitu saja tanpa fase persiapan apalagi orientasi.

Image: http://www.alifeoverseas.com/what-in-the-world-to-do-with-newbies/

Identitas Buku

Judul : Di Balik Dinding Rusunawa; Mengungkap Pengalaman Komunitas Syiah Sampang di Pengungsian
Penulis : Romel Masykuri, Binaridha Kusuma Ningtyas dan Novita Maulida Ikmal
Penerbit : Sulur, Yogyakarta
Tahun Terbit : Januari, 2018
Jumlah halaman : xiv dan 68
Ukuran buku : 13,5 X 20 cm

Barangkali karena lahir dan besar di Madura, saya memiliki ketertarikan dan concern tersendiri terhadap tragedi Syi’ah di Sampang. Tak sedikit pula rekan yang menanyakan perihal konflik Sunni-Syi’ah begitu mengetahui asal saya. Saya juga tak mungkin lupa ketika dengan terbatuk-batuk karena tak tahan dengan cuaca Canberra, awal 2016 lalu, saya menceritakan betapa rumit akar muasal kejadian tersebut di sebuah forum kecil dengan teman-teman dari DFAT Australia.

Sejauh ini saya memang hanya melakukan riset di balik meja dan belum pernah menyambangi langsung lokasi konflik ataupun GOR Sampang serta Rusunawa Sidoarjo. Karenanya, saya menyambut baik sekali kehadiran buku yang seakan mengingatkan pada khalayak bahwa di tengah kasus-kasus lain yang datang silih berganti, masih banyak problem kebangsaan yang belum usai dan tak boleh dilupakan begitu saja, apalagi dianggap selesai.

***

Saya memiliki ekspektasi cukup tinggi terhadap buku Di Balik Dinding Rusunawa (DBDR) karena semakin hari, semakin sedikit peneliti atau penulis yang melirik isu lama ini di tengah isu-isu lain yang barangkali lebih menarik dan ‘menjual’. Kalaupun ada, sependek pengetahuan saya, bentuknya terbatas pada artikel atau tulisan pendek. Penelitian-penelitian etnografis, apalagi yang serius, semakin jarang ditemui seiring bertambah usang—dan rumit—nya persoalan ini.

Karenanya, saya sangat menikmati lembar demi lembar ulasan dalam DBDR yang seakan membawa saya ke bangunan Rusunawa Puspa Agro Sidoarjo. Membaca beberapa kutipan langsung dari transkrip wawancara membuat saya seolah-olah tengah berkomunikasi dengan mereka menggunakan Bahasa Madura. Saya turut membayangkan bagaimana sulitnya berdamai dengan keadaan baru ketika trauma dari rentetan kejadian memilukan belumlah sembuh.

Ulasan-ulasan lain dalam DBDR juga cukup informatif menunjukkan bahwa pemerintah tak sepenuhnya abai dan begitu saja menempatkan komunitas ini di negeri antah berantah tanpa ‘bekal’ apapun. Meski ada beberapa catatan, keterangan perihal bantuan beras yang kemudian diganti bantuan tunai bulanan (hlm 18), akses terhadap fasilitas umum yang semakin terbuka (hlm 47) serta adanya pegawai BPBD Jawa Timur yang ditugaskan mendampingi komunitas ini sejak awal kedatangan (hlm 16)cukup memberi keberimbangan data untuk setidaknya meng-counter asumsi buruknya kinerja pemerintah.

Dibandingkan karya-karya atau hasil penelitian sejenis yang mengangkat kasus ini, DBDR terbilang ringan sehingga renyah dibaca. Penyajian data yang lebih mirip laporan penelitian berbentuk narasi esai tanpa analisis teori-teori yang serius dan ‘berat’ menjadikan buku ini ramah untuk semua kalangan.Selain itu, informasi singkat perihal kronologi peristiwa yang dialami komunitas Syi’ah Sampang hingga akhirnya berada di Rusunawa membuat buku ini layak dikonsumsi newbie yang baru akan mendalami kasus ini.

Menariknya lagi, prolog dan epilog dalam buku ini membentuk kombinasi yang apik. Prolog yang ditulis oleh Dr. Siti Aminah, Kaprodi Program Magister Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya,tempat ketiga penulis DBDR belajar, menyinggung beberapa teori yang relevan dengan konteks penelitian sehingga terlihat sangat academically minded. Sementara itu, kekuatan diksi khas Muhammad Al-Fayyadl, intelektual serta aktivis muda lulusan Universitas Paris, melengkapinya dengan analisis dari perspektif teologis serta kultural berikut dua tawaran praktis yang layak dipertimbangkan.

Hal yang sebenarnya lebih penting dari buku ini adalah perannya sebagai kanal yang menggaungkan suara hati komunitas Syi’ah Sampang agar bisa didengar lebih banyak telinga, tak terkecuali pihak berwenang serta saudara-saudara mereka, kaum Sunni. Di luar sumbangsihnya untuk dunia akademik dan ilmu pengetahuan, sisi lain buku ini adalah potensinya untuk menyemai benih-benih perdamaian yang sempat hilang dalam masyarakat Madura yang memiliki riwayat guyub serta karakter nganggep (bersaudara) yang kuat.

***

Terlepas dari berbagai kelebihan buku yang berawal dari tugas kuliah ini, ada sedikitnya dua hal dari DBDR yang patut menjadi bahan evaluasi. Pertama,paparan di dalamnya terkesan sangat simplistis, untuk tidak mengatakan minimalis. Untuk ukuran penelitian etnografis, utamanya jika berkaca pada data wawancara, kehadiran peneliti ke lokasi maupun interaksi dengan informan tampak kurang intens. Akibatnya, emosi yang sedari awal diaduk-aduk harus padam begitu saja karena space yang sedikit tersebut. Kedua, adanya beberapa peristiwa ‘kunci’ yang sebenarnya penting untuk dipaparkan lebih panjang lebar karena menampilkan sisi lain yang tak banyak diulas. Dua di antaranya adalah pengalaman pulang ke Sampang pada hari raya serta hubungan harmonis dengan warga (di sekitar) Rusunawa.

***

Sebagai karya akademik, DBDR layak mengawali kembali semaraknya kerja-kerja ilmiah untuk memotret komunitas Syi’ah Sampang dalam rangka memerjuangkan hasrat terbesar mereka untuk kembali ke kampung halaman. Sementara itu, dengan iktikadnya yang mulya, karya ini harusnya juga menjadi panggilan bagi pemerintah, lembaga swasta atau tokoh kultural untuk memberi aksi nyata demi menjamin terpenuhinya hak-hak kewarganegaraan komunitas Syi’ah Sampang yang hingga saat ini masih terampas.

*Masyithah Mardhatillah, co-founder Yayasan Paddhang Bulan Tacempah, Plakpak, Pegantenan, Pamekasan.
Gambar: www.medium.com

MARI themes

Diberdayakan oleh Blogger.