Tentag Pak Untung
Sepulangnya dari Australia akhir Maret kemarin, aku mendapat ‘teman’ baru di rumah, namanya Pak Untung. Dia datang ke rumah pada hari yang sama dengan kedatanganku. Aku datang agak siang, Pak Untung datang sore menjelang petang. Kedatangan karyawan temporer yang kemudian tinggal di rumah bukan hal baru bagi keluarga suamiku. Sebelumnya sudah ada beberapa dan yang terakhir, Mas Bucek, bahkan sudah berkali-kali pulang-datang-pulang-datang.
Aku lebih banyak jetlag dan recovery dari batuk yang sangat mengganggu pada hari-hari pertama sepulangnya ke Indonesia. Agenda lain adalah bagiin oleh-oleh serta memuaskan hasrat kerinduan pada masakan Indonesia (Madura). Aku tak banyak peduli dan kepo-in Pak Untung, meski aku sangat bersemangat menghabiskan sekarung rambutan yang ia bawa dari Jember, kota kelahirannya, which is juga kota kelahiran suamiku.
Setelah jetlag-ku mulai reda dan aku beranjak pulih dari semacam post-power syndrome, aku mulai penasaran terhadap sosok Pak Untung karena minimal, satu kali sehari, aku akan berinteraksi dengannya, mempersilakan ia makan atau sekadar bertukar senyum ketika tak sengaja bertemu. Pak Untung adalah seorang tunawicara dan tunarungu meski ketika ingin bicara, ia masih bisa memaksakan diri untuk memunculkan suara. Gangguan pendengarannya tampak lebih parah.
Suatu malam aku pernah menghampirinya untuk memberitahu bahwa makanan sudah siap. Ketika itu Pak Untung membelakangi arah dari mana aku datang dan memandang lepas ke jalan, tampak asyik dengan pikirannya sendiri. Aku butuh usaha keras dan lama untuk membuatnya menoleh. Dengan isyarat tangan, dia minta maaf atas responnya yang terlambat menanggapi ucapanku. Aku hanya tersenyum dan membalas isyaratnya seolah-olah mengatakan, I am fine. No worries.
Pak Untung memiliki keahlian menyulap potongan-potongan kayu menjadi barang-barang perabotan rumah tangga, mulai dari kursi, meja rias, tempat tidur dan lain-lain. Ayah mertuaku sengaja mendatangkan dia dari Jember agar ia membantu menyelesaikan beberapa order dan melengkapi display items di usaha meble yang ia rintis sejak beberapa tahun lalu. Aku tak tahu apa alasan ayah mertuaku mendatangkan karyawan musiman jauh-jauh dari Jember. Yang kutahu adalah bahwa Pak Untung meninggalkan istri dan anaknya beberapa lama untuk mencari Rupiah dengan keterbatasan (sekaligus keistimewaan) yang dia miliki. Rasanya nonjok banget di hatiku. Fatherly love-nya kental sekali.
Aku sering menghampiri Pak Untung ke tempat kerjanya ketika kebagian tugas memersilakan dia makan. Ia sangat cekatan dan tampak sudah lama menekuni keahlian tersebut. Ketika aku mengajaknya bicara, Pak Untung—seperti biasa—selalu memberikan respon sigap sambil memamerkan deretan giginya. Calming me down sekali. Beberapa kali ia mengajakku berkomunikasi namun aku masih sering gagal memahami apa yang ingin dia sampaikan. Biasanya aku hanya tersenyum dan dia tampak mengerti dengan bahasa tubuhku.
Ketika bekerja, Pak Untung hampir tidak pernah lepas dari sebatang rokok di mulutnya. Ayah mertuaku sampai membelikan beberapa bungkus rokok merk khusus untuk Pak Untung. Tampaknya asap rokok membantunya bekerja dan melancarkan gerakan tangannya memotong kayu, memegang kemudian memainkan palu, menancapkan paku, mengoperasikan mesin pemotong kayu, menyambungkan satu potongan kayu dengan potongan lain dan aktivitas-aktivitas lain yang rutin ia lakukan. Itu aku sadari saat kutemukan bahwa ketika tak sedang bekerja, Pak Untung tidak sering—bahkan jarang—merokok. Kalau sedang sendiri dan tampak termenung, entah apa yang ia pikirkan, barulah Pak Untung merokok. Barangkali mengajak bicara asap yang mengepul dari mulutnya.
Pak Untung tidak banyak request dan protes meski seharian ia bekerja dan semalaman ia tidur di atas sofa yang ada di display room. Aku tak tahu apakah di situ banyak nyamuk tapi bangunan di pinggir jalan itu beratapkan seng sehingga ketika hujan, dipastikan hawa di dalam akan sangat dingin. Satu hal yang pernah ia complain adalah menu makanan ketika tak ada sayur berkuah di meja. Dengan bahasa isyarat yang khas dan kadang mengharukan, ia menyampaikan bahwa ia sulit menelan makanan jika tanpa kuah. Ia memegang lehernya dan mengubah ekspresi wajah seperti orang kesakitan.
Ibu mertuakupun mengiyakan complain tersebut sehingga setiap meal time, tiga kali sehari, kami selalu menyediakan kuah untuk Pak Untung. Aku belum tau seberapa besar porsi makan Pak Untung tapi yang pasti, ia suka sambel. Cobek sambel selalu ludes setelah dia menyantap hidangan kami. Mengetahui hal yang demikian adalah kebahagiaan yang baru kutau kaya apa rasanya belakangan ini. Btw aku juga sering me-nguping obrolan para tukang ketika mereka menyantap makanan dan Pak Untung ternyata juga ikut terlibat di perbincangan tersebut, entah bagaimana caranya. Mas Bucek, ahli ukir yang belakangan kembali bekerja dan tinggal di rumah, juga sering tertawa terpingkal-pingkal saat tengah ‘ngobrol’ dengan Pak Untung.
Ketika melihat Pak Untung mondar-mandir di depan mataku, aku suka berpikir bahwa kepindahan sementara ini sebenarnya tak pernah mudah bagi siapapun, termasuk bagi Pak Untung. Ia harus tidur di tempat yang berbeda, makan masakan yang berbeda, menghabiskan waktu di tempat baru dan hal-hal baru lain yang mungkin kerasa masih aneh baginya. Perasaan semacam ga betah ala-anak pondok kupastikan ada, meski motivasi ekonomi bisa mengalahkan kecenderungan-kecenderungan semacam itu. Pak Untung juga tidak mendapat fasilitas laundry sehingga dia mencuci dan mengurus bajunya sendiri.
Aku juga sering memerhatikannya ketika menjemur pakaian. Ia selalu bisa menyembunyikan rasa lelah (Pak Untung bekerja tujuh hari sepekan) dan—mungkin—tak betahnya berada jauh dari keluarga. Oh ya setauku, Pak Untung juga membawa sandang seperlunya selama masa tinggalnya di sini. Baju untuk bekerja dan untuk santai masing-masing ada. Baju kerjanya adalah kaus oblong tanpa lengan, kaus lengan pendek, dan celana selutut serta topi, sedang baju santai terdiri dari sarung, kemeja lengan panjang dan peci putih ala-ala hadiah haji. Aku tak ingat berapa potong tapi pastinya tak banyak. Baju-baju itu, meski sederhana, adalah saksi di setiap tetes keringat dan kerinduannya untuk pulang. Pak Untung juga tidak membawa alat komunikasi semacam handphone sehingga ayah mertuakulah yang menghubungi istrinya untuk keperluan keuangan. Kebayang gimana khawatir dan kangennya keluarga pak Untung terhadap keadaan Pak Untung di sini. LDR tanpa gadget mungkin masih kerasa absurd, tapi ternyata masih ada yang menjalaninya.
Selain membantu Ayah mertuaku membikin barang-barang perabot rumah tangga, setiap sore, Pak Untung juga membantu Ibu mertuaku memasak air untuk konsumsi para tukang yang setiap hari bisa berjumlah lima orang. Saat bekerja, selain rokok dan kopi, para tukang ternyata membutuhkan banyak asupan hidrasi cukup banyak sehingga kami harus menyediakan stock air yang cukup. Untuk keperluan ini, Ibu mertuaku biasa memasak air di pawon buatan di sebelah ‘ruang kerja’ Pak Untung sehingga Pak Untung seperti merasa memiliki beban moral untuk juga membantu proses memasak air tersebut.
Setiap akan berangkat ngampus, aku juga sering bertemu Pak Untung di display room tempat dia biasa tidur. Ia tampak menanyakan akan ke mana aku dan aku sigap menjawabnya, saya mau sekolah, Pak. Ia tersenyum dan mengancungkan ibu jarinya; seperti menangkap omonganku, mungkin lewat gerak bibir. Aku balik tersenyum dan merasa baru dihadiahi suntikan semangat. Pak Untung selalu tampak semangat dan oriented sekali dalam bekerja. Ia betul-betul menikmati pekerjaanya dan berusaha total di situ. Rasanya malu sekali kalau ingat aku sering setengah-setengah dalam melakukan banyak hal, disorientasi dan kadang digresi ke mana-mana.
Aku sering berpikir bagaimana rasanya jauh dari keluarga, seperti yang Pak Untung alami saat ini. Fenomena kaum migran yang meninggalkan kampung halaman bukan hal baru di kampungku, baik di rumah orang tua maupun di rumah mertuaku. Mereka bahkan berbondong-bondong berkarya dan memakmurkan daerah atau negeri orang karena di rumahnya sendiri, mereka tak mendapatkan (juga mungkin tak menciptakan) banyak peluang. Beberapa bahkan menetap di tanah rantau dan emoh kembali lagi ke kampung halaman. Mereka menciptakan house sekaligus home baru dan menyambangi kampung halamannya—setidaknya—setahun sekali ketika Lebaran. Bagi si perantau, ini memang tentang pilihan, tapi di sisi lain, ketimpangan kaya gini sebenarnya menunjukkan masih berjayanya sentralisasi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Yang kulihat dari Pak Untung adalah he does what he can do as well as possible. Doing the job, getting paid and then going home. Go hard or go home, kata Fast Furious. Aku pernah membantunya menransfer sejumlah uang untuk istrinya di Jember dan rasanya mengharukan sekali. Jumlah kiriman sebenarnya tak seberapa dibanding konsekuensi untuk berjauhan dan pura-pura tak punya kerinduan, akan tetapi itu akan sangat berarti bagi istri dan anak-anaknya. Keterbatasan yang dimilikinya tak menghalangi Pak Untung untuk menujukkan keistimewaan hebat yang dia punya. Kesulitan yang ia temui—konon itu bawaan lahir—tidak membuatnya mundur sedikitpun dari panggilan nurani mencukupi kebutuhan istri dan anaknya.
Semoga panjang umur dan sehat selalu Pak Untung. Jangan lupa tersenyum. Ketekunan dan keseriusan Bapak bekerja sangat menginspirasi! (teriring doa rahasia untuk Pak Untung)
Ps; Foto menyusul :)